Karakter
Bagian dari Prinsip Hidup
Oleh : H. Endin Suryana Spd.I
Definisi
karakter
Didunia
pendidikan, sebut saja sekolah tentu kita sudah mendengar istilah-istilah
seperti karakter, guru berkarakter, pendidikan berkarakter. Sebenarnya apa itu
karakter? pernahkah kita bertanya seperti itu? Atau kita sudah
tahu!syukur kalau sudah tahu. Akan tetapi saya akan sedikit menguraikan
tentang arti istilah-istilah diatas yang saya ambil dari buku yang
dikarang oleh Prof.Dr. H.M. Furqon Hidayatullah, M.Pd.
Secara harfiah
karakter artinya moral, nama atau reputasi “(Homby dan Parwell, 1972:49).
Menurut Kamus Lengkap bahasa Indonesia, Karakter adalah sifat-sifat
kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dari yang lainnya,
tabiat, watak. Berkarakter artinya mempunya watak, mempunyai
kepribadian(Kamisa, 1997:281).
Dalam Dorland’s
Pocket Medical Dictionary (1968:126) dinyatakan bahwa karakter adalah
sifat nyata dan berbeda ditunjukan oleh individu; sejumlah atribut yang dapat
diamati pada individu. Didalam kamus psikologi dinyatakan bahwa karakter adalah
kepribadian ditinjau dari titik tolak etis atau moral, misalnya kejujuran
seseorang, biasanya mempunyai kaitan dengan sifata-sifat yang relatif
tetap(Dali Gulo, 1982:29)
Dari beberapa
pengertian tersebut dapat dinyatakan bahwa karakter adalah kualitas atau
kekuatan mental atau moral, akhlak atau budi pekerti individu, yang merupakan
kepribadian khusus yang membedakan dengan individu lain.
Pada suatu sore, saya kebetulan berbincang-bincang (ngobrol)
dengan kelompok anak muda. Anak-anak muda yang sebaya dengan anak
saya. Mereka ada yang S1 dan beberapa Master dan juga ada yang
sudah Doktor.
Menyenangkan ngobrol dengan kawula muda, karena sebagian
besar adalah mereka yang masih polos dan berbicara apa adanya.
Dibalik kepolosan dan bicara apa adanya itu, mereka adalah kelompok kaum
terpelajar negeri ini. Belum banyak pengalamannya, karena memang
usia mereka yang masih belia, akan tetapi beberapa diantaranya telah menempuh
sebagian masa belajarnya di luar negeri, dinegara maju. Sehingga
pada umum nya mereka adalah para pemuda yang memiliki “visi”.
Yang menarik adalah mendengarkan pendapatnya yang antara
lain mengemukakan tentang ketidak mengertian mereka terhadap gelombang hiruk
pikuk nya para elit partai di pasca pemilu legislatif. Mereka
laksana sedang menonton tonil opera sabun, menyaksikan manuver-manuver tokoh
partai. Sebentar datang ke Cikeas, sebentar lagi datang ke Teuku
Umar, terus ke slipi dan lain sebagainya. Belum lagi adanya
koalisi-koalisi yang bernama blok - blok seperti layaknya kompleks hunian di
perumahan gedongan.
Yang paling mereka sulit untuk mengerti adalah, begitu
banyak nya orang-orang yang sebentar omong A dan kemudian omong B, sebentar
mengkritik si A, kemudian dalam waktu singkat bisa memuji-mujinya, sebentar
bilang sangat berbeda, sebentar lagi bilang sangat cocok dan lebih jauh lagi
adalah kalau perlu jegal sana dan jegal sini dan lain lain dan lain lain.
Jabatan Wakil Presiden telah menjadi posisi yang diincar banyak
orang. Pertunjukan akrobatik yang nyaris tanpa arah. Pendek kata,
apa saja dilakukan demi sesuatu yang bernama “kekuasaan”. Terlihat
disini dengan sangat gamblang, seolah-olah sudah tidak memiliki lagi “prinsip”,
tidak memiliki lagi “belief”. Dan yang paling fatal adalah, bila
ditanyakan mengapa mereka bisa demikian, maka jawab nya adalah : “Dalam
Politik hal seperti ini adalah biasa”. Singkat kata , atas nama
politik, maka semua menjadi barang halal ! Binatang apa gerangan “politik”
itu.
Disinilah terlihat sekali, bahwa “karakter” sudah
tidak ada lagi. Yang hebat adalah, para anak muda itu, selain
mempertanyakan hal-hal demikian bisa terjadi, mereka ternyata juga
mengkhawatirkan hal tersebut akan ditiru oleh sebagian teman-temannya.
Keteladanan sudah menjadi barang super langka, anak-anak muda telah
kehilangan tokoh identifikasinya. sungguh menyedihkan. Karakter
seseorang yang dapat menjadi teladan , yang patut dicontoh, yang dapat jadi
panutan, dimana kah kau berada?
Bila kita bicara tentang karakter, maka kita akan berbicara
tentang “moral excellence”, kita berbicara tentang “High standard of
righteous behavior wich cannot be denied”.George Washington mengatakan
bahwa salah satu dari aspek yang sangat mendasar berkait dengan karakter
adalah bagaimana kita mengambil sikap pada satu saat dimana kita
dihadapkan kepada pilihan yang bertentangan dengan sesuatu yang kita percaya
adalah benar. Satu saat bos kita akan memerintahkan sesuatu yang
bertentangan dengan “kata hati” kita.
Tentukan, bila memang bisa ditolerir, kerjakan dengan
sepenuh hati, dengan penuh loyalitas, sebaliknya apa bila memang tidak bisa
ditolerir dengan prinsip dalam diri kita, segera ajukan pengunduran diri,
tinggalkan si Bos ! Itu karakter ! Tidak bersikap untuk mudah
saja mengikuti siapa saja yang berbuat apa saja, yang sekedar untuk mengejar “comfort
zone”. Bersikap untuk mengejar dengan mudah hal-hal yang nikmat, malas
bekerja keras. Tidak cocok nggak apa-apa asal enak!
Jenderal
Jomini berkata : “The union of wise theory with great character
will constitute the Great Captain “ Pertanyaannya, kapan ya kita punya “The
Great Captain” ?
Cerita Unik Ketika Jujur Menjadi
Sebuah Pilihan
Lisna adalah anak sekolah dasar kelas 5, dia bercerita
dengan kepolosannya “Kemarin aku ulangan Matematika soalnya susah banget tapi
aku berusaha menghitung dengan ditel tapi banyak teman-teman yang dikasih tau
sama guru. Soalnya agak susah tapi aku nggak mencontek mungkin aku jarang
belajar aku terlalu banyak main walaupun soalnya susah aku tidak mencontek
mungkin nilainya kecil tapi aku tetap bangga karna hasil belajarku sendiri
tanpa mencontek sama siapapun. Aku tetap jujur karena lebih baik jujur aku
kemarin sebenarnya susah capek dan pusing tapi aku tetap jujur karna aku anak
jujur yang sejati”.
Ironi. Siswa jujur harus berhadapan dengan oknum guru yang
curang. Mestinya, guru mendidik siswanya untuk jujur. Ternyata, tak ada jaminan
orang dewasa bisa bersikap lebih jujur.
Kisah lainnya tahun yang lalu, kita mengenal seorang anak SD
bernama Alif. kisah anak jujur lainnya dari Surabaya yang marak diperbincangkan dalam pemberitaan di
media masa. Karena sikap jujurnya, Alif dan keluarganya menjadi buruan orang-orang
yang merasa terganggu kepentingannya.
Di Indonesia, orang
jujur dianggap berbahaya. Diamnya saja sudah berbahaya, apalagi jika buka suara
mengungkap keborokan yang terjadi di lingkungannya. inilah nasib orang jujur di
negeri Indonesia. Apa yang terjadi pada diri Alif memunculkan tanda tanya
besar. Mengapa sekolah bisa jadi panggung pertunjukan kecurangan? Ingat, tak
ada akibat tanpa sebab. Berapa banyak orang tua dan guru di hari ini yang
selalu berpesan kepada anak-anaknya, “Jangan curang, nak!", “Jangan
korupsi, nak!”, “Berlakulah jujur, nak!”. Sementara, di saat bersamaan, mereka
seringkali berujar, “Jadilah anak pintar, nak!”, “Jadilah juara kelas, nak!”,
“Jadilah juara olimpiade, nak!”.
Jangan pernah anggap sepele perkara ini. Setiap anak boleh
dimotivasi untuk menjadi anak pintar, juara kelas, lulus masuk universitas
terbaik. Namun, persoalannya terletak pada cara meraih itu semua. Sudah
benarkah cara yang dilakukan anak-anak kita untuk menjadi juara olimpiade,
juara kelas, dan meraih prestasi hebat lainnya? Jangan sepelekan persoalan ini.
Tanpa disadari, proses pembunuhan karakter (character
assassination) pada diri anak telah dimulai sejak dini. Jika orang tuanya
koruptor, apa yang akan terjadi pada diri anaknya? Setiap hari anaknya diberi
asupan makanan dari hasil korupsi. Tak jarang pandangan dan perilaku curang
yang dicontohkan orang tuanya bisa membentuk perilaku serupa pada diri anak.
Keluarga, tempat pertama dan utama pendidikan anak. Sadarilah. Anak akan selalu jadi korban proses pembunuhan karakter orang tuanya. Bersikap baiklah wahai para orang tua.
Kisah pembunuhan karakter pada diri anak, berlanjut di lingkungan sekolah. Mari kita cermati bersama, berapa banyak kasus yang mengangkat cerita tentang kasus tawuran pelajar, mencontek, kebocoran soal pada gelaran Ujian Nasional, dan cerita lainnya yang jauh dari kesan "mendidik".
Keluarga, tempat pertama dan utama pendidikan anak. Sadarilah. Anak akan selalu jadi korban proses pembunuhan karakter orang tuanya. Bersikap baiklah wahai para orang tua.
Kisah pembunuhan karakter pada diri anak, berlanjut di lingkungan sekolah. Mari kita cermati bersama, berapa banyak kasus yang mengangkat cerita tentang kasus tawuran pelajar, mencontek, kebocoran soal pada gelaran Ujian Nasional, dan cerita lainnya yang jauh dari kesan "mendidik".
Guru pandai mengajar tapi tak pandai mendidik, celaka dua
belas. Kuasai ilmunya lalu sampaikan, syarat cukup menjadi guru pengajar. Tapi
untuk menjadi pendidik, guru harus sadar dirinya adalah suri tauladan. Perbaiki
dirinya terlebih dahulu, lalu didik anak-anaknya untuk berperilaku baik. Ingat,
guru hebat bukan karena nilai Bahasa Inggris, ilmu Matematika, ilmu Fisika-nya
cumlaude, melainkan:
(1)
Bisakah ia bakar semangat murid-muridnya untuk lebih giat belajar?
(2) Bisakah ia sadarkan tanggung jawab muridnya akan apa
yang harus mereka lakukan?
Menjadi baik di antara yang bodoh
itu mudah. Namun, menjadi baik di antara yang rusak, kisah heroik seorang guru
yang setia berperilaku baik memang jadi lakon yang selalu menarik untuk
dicermati.
Gaji
guru yang tak memadai, disadari atau tidak, telah memberi andil besar
terjadinya kecurangan-kecurangan yang terjadi di sekolah. Mencontek dan memberi
bocoran jawaban kepada siswa merupakan hal yang lumrah. Hari gini jadi guru
jujur, pikir-pikir dulu. Jika zaman penjajahan dulu kita bisa bilang,
"Revolusi Harga Mati". Sekarang, kita tak bisa hindari orang ungkap,
"Korupsi Harga Nego". Gambaran sebuah perjuangan yang teramat berat
melawan sistemyang korup.
Lisna mengingatkan kita, berperilaku
jujur adalah pilihan. Andai Lisna berani mengingatkan gurunya untuk tak berlaku
curang, ini pelajaran teramat berharga bagi dunia pendidikan kita. Jika gurunya
membentak dan tidak menerima nasihat Lisna, memang sosok guru seperti ini
layak "ditendang" dan dijauhkan dari lingkungan sekolah. Namun, jika
guru Lisna menyadari kekeliruannya, meminta maaf, dan bertobat, siapa yang bisa
petik hikmah dari peristiwa ini?
Banyak
orang "merasa pintar", berapa banyak orang yang "pintar
memaknai"? Apakah Anda bisa memaknai kisah Lisna, Anak Jujur Sejati?
Rasulullah Saw. bersabda, “Sesungguhnya kejujuran membimbing ke arah sesuatu
kebaikan, dan kebaikan itu membimbing(nya) ke surga. Seseorang lelaki yang
bersikap jujur, sehingga ia berada di sisi Allah sebagai orang yang jujur dan
benar. Sedangkan dusta membimbing kepada kejahatan. Lalu kejahatan itu menyeret
ke neraka. Seseorang lelaki yang biasa berdusta, maka akan berada di sisi Allah
dan kelak sebagai orang pendusta” (HR. Bukhari & Muslim)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar