Rabu, 01 Mei 2013

Karakter Bagian dari Prinsip Hidup



Karakter Bagian dari Prinsip Hidup
Oleh : H. Endin Suryana Spd.I
Definisi karakter
Didunia pendidikan, sebut saja sekolah tentu kita sudah mendengar istilah-istilah seperti karakter, guru berkarakter, pendidikan berkarakter. Sebenarnya apa itu karakter? pernahkah kita  bertanya seperti itu? Atau kita sudah tahu!syukur kalau sudah tahu.  Akan tetapi saya akan sedikit menguraikan tentang arti  istilah-istilah diatas yang saya ambil dari buku yang dikarang oleh Prof.Dr. H.M. Furqon Hidayatullah, M.Pd.
Secara harfiah karakter artinya moral, nama atau reputasi “(Homby dan Parwell, 1972:49). Menurut Kamus Lengkap bahasa Indonesia, Karakter adalah sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dari yang lainnya, tabiat, watak. Berkarakter artinya mempunya watak, mempunyai kepribadian(Kamisa, 1997:281).
Dalam Dorland’s Pocket Medical Dictionary (1968:126) dinyatakan bahwa karakter adalah sifat nyata dan berbeda ditunjukan oleh individu; sejumlah atribut yang dapat diamati pada individu. Didalam kamus psikologi dinyatakan bahwa karakter adalah kepribadian ditinjau dari titik tolak etis atau moral, misalnya kejujuran seseorang, biasanya mempunyai kaitan dengan sifata-sifat yang relatif tetap(Dali Gulo, 1982:29)
Dari beberapa pengertian tersebut dapat dinyatakan bahwa karakter adalah kualitas atau kekuatan mental atau moral, akhlak atau budi pekerti individu, yang merupakan kepribadian khusus yang membedakan dengan individu lain.
Pada suatu sore, saya kebetulan berbincang-bincang (ngobrol) dengan kelompok anak muda.   Anak-anak muda yang sebaya dengan anak saya.   Mereka ada yang S1 dan beberapa Master dan juga ada yang sudah Doktor.
Menyenangkan ngobrol dengan kawula muda, karena sebagian besar adalah mereka yang masih polos dan berbicara apa adanya.    Dibalik kepolosan dan bicara apa adanya itu, mereka adalah kelompok kaum terpelajar negeri ini.   Belum banyak pengalamannya, karena memang usia mereka yang masih belia, akan tetapi beberapa diantaranya telah menempuh sebagian masa belajarnya di luar negeri, dinegara maju.   Sehingga pada umum nya mereka adalah para pemuda yang memiliki “visi”.
Yang menarik adalah mendengarkan pendapatnya yang antara lain mengemukakan tentang ketidak mengertian mereka terhadap gelombang hiruk pikuk nya para elit partai di pasca pemilu legislatif.   Mereka laksana sedang menonton tonil opera sabun, menyaksikan manuver-manuver tokoh partai.   Sebentar datang ke Cikeas, sebentar lagi datang ke Teuku Umar, terus ke slipi dan lain sebagainya.   Belum lagi adanya koalisi-koalisi yang bernama blok - blok seperti layaknya kompleks hunian di perumahan gedongan.
Yang paling mereka sulit untuk mengerti adalah, begitu banyak nya orang-orang yang sebentar omong A dan kemudian omong B, sebentar mengkritik si A, kemudian dalam waktu singkat bisa memuji-mujinya, sebentar bilang sangat berbeda, sebentar lagi bilang sangat cocok dan lebih jauh lagi adalah kalau perlu jegal sana dan jegal sini dan lain lain dan lain lain.   Jabatan Wakil Presiden telah  menjadi posisi yang diincar banyak orang.   Pertunjukan akrobatik yang nyaris tanpa arah.   Pendek kata, apa saja dilakukan demi sesuatu yang bernama “kekuasaan”. Terlihat disini dengan sangat gamblang, seolah-olah sudah tidak memiliki lagi “prinsip”, tidak memiliki lagi “belief”. Dan yang paling fatal adalah, bila ditanyakan mengapa mereka bisa demikian, maka jawab nya adalah :   “Dalam Politik  hal seperti ini adalah biasa”. Singkat kata , atas nama politik, maka semua menjadi barang halal !   Binatang apa gerangan “politik” itu.
Disinilah terlihat sekali, bahwa “karakter” sudah tidak ada lagi.   Yang hebat adalah, para anak muda itu, selain mempertanyakan hal-hal demikian bisa terjadi, mereka ternyata juga mengkhawatirkan hal tersebut akan ditiru oleh sebagian teman-temannya.   Keteladanan sudah menjadi barang super langka,   anak-anak muda telah kehilangan tokoh identifikasinya. sungguh   menyedihkan. Karakter seseorang yang dapat menjadi teladan , yang patut dicontoh, yang dapat jadi panutan, dimana kah kau berada?
Bila kita bicara tentang karakter, maka kita akan berbicara tentang “moral excellence”, kita berbicara tentang “High standard of righteous behavior wich cannot be denied”.George Washington mengatakan bahwa salah satu dari aspek yang sangat mendasar berkait dengan karakter adalah  bagaimana kita mengambil sikap pada satu saat dimana kita dihadapkan kepada pilihan yang bertentangan dengan sesuatu yang kita percaya adalah benar.   Satu saat bos kita akan memerintahkan sesuatu yang bertentangan dengan “kata hati” kita.  
Tentukan, bila memang bisa ditolerir, kerjakan dengan sepenuh hati, dengan penuh loyalitas, sebaliknya apa bila memang tidak bisa ditolerir dengan prinsip dalam diri kita, segera ajukan pengunduran diri, tinggalkan si Bos !  Itu karakter !   Tidak bersikap untuk mudah saja mengikuti siapa saja yang berbuat apa saja, yang sekedar untuk mengejar “comfort zone”. Bersikap untuk mengejar dengan mudah hal-hal yang nikmat, malas bekerja keras.   Tidak cocok nggak apa-apa asal enak!
Jenderal Jomini berkata :   “The union of wise theory with great character will constitute the Great Captain “ Pertanyaannya, kapan ya kita punya “The Great Captain” ?
Cerita Unik Ketika Jujur Menjadi Sebuah Pilihan
Lisna adalah anak sekolah dasar kelas 5, dia bercerita dengan kepolosannya “Kemarin aku ulangan Matematika soalnya susah banget tapi aku berusaha menghitung dengan ditel tapi banyak teman-teman yang dikasih tau sama guru. Soalnya agak susah tapi aku nggak mencontek mungkin aku jarang belajar aku terlalu banyak main walaupun soalnya susah aku tidak mencontek mungkin nilainya kecil tapi aku tetap bangga karna hasil belajarku sendiri tanpa mencontek sama siapapun. Aku tetap jujur karena lebih baik jujur aku kemarin sebenarnya susah capek dan pusing tapi aku tetap jujur karna aku anak jujur yang sejati”.
Ironi. Siswa jujur harus berhadapan dengan oknum guru yang curang. Mestinya, guru mendidik siswanya untuk jujur. Ternyata, tak ada jaminan orang dewasa bisa bersikap lebih jujur.  
Kisah lainnya tahun yang lalu, kita mengenal seorang anak SD bernama Alif. kisah anak jujur lainnya dari Surabaya yang  marak diperbincangkan dalam pemberitaan di media masa. Karena sikap jujurnya, Alif dan keluarganya menjadi buruan orang-orang yang merasa terganggu kepentingannya.
 Di Indonesia, orang jujur dianggap berbahaya. Diamnya saja sudah berbahaya, apalagi jika buka suara mengungkap keborokan yang terjadi di lingkungannya. inilah nasib orang jujur di negeri Indonesia. Apa yang terjadi pada diri Alif memunculkan tanda tanya besar. Mengapa sekolah bisa jadi panggung pertunjukan kecurangan? Ingat, tak ada akibat tanpa sebab. Berapa banyak orang tua dan guru di hari ini yang selalu berpesan kepada anak-anaknya, “Jangan curang, nak!", “Jangan korupsi, nak!”, “Berlakulah jujur, nak!”. Sementara, di saat bersamaan, mereka seringkali berujar, “Jadilah anak pintar, nak!”, “Jadilah juara kelas, nak!”, “Jadilah juara olimpiade, nak!”.
Jangan pernah anggap sepele perkara ini. Setiap anak boleh dimotivasi untuk menjadi anak pintar, juara kelas, lulus masuk universitas terbaik. Namun, persoalannya terletak pada cara meraih itu semua. Sudah benarkah cara yang dilakukan anak-anak kita untuk menjadi juara olimpiade, juara kelas, dan meraih prestasi hebat lainnya? Jangan sepelekan persoalan ini.
Tanpa disadari, proses pembunuhan karakter (character assassination) pada diri anak telah dimulai sejak dini. Jika orang tuanya koruptor, apa yang akan terjadi pada diri anaknya? Setiap hari anaknya diberi asupan makanan dari hasil korupsi. Tak jarang pandangan dan perilaku curang yang dicontohkan orang tuanya bisa membentuk perilaku serupa pada diri anak.
Keluarga, tempat pertama dan utama pendidikan anak. Sadarilah. Anak akan selalu jadi korban proses pembunuhan karakter orang tuanya. Bersikap baiklah wahai para orang tua.
Kisah pembunuhan karakter pada diri anak, berlanjut di lingkungan sekolah. Mari kita cermati bersama, berapa banyak kasus yang mengangkat cerita tentang kasus tawuran pelajar, mencontek, kebocoran soal pada gelaran Ujian Nasional, dan cerita lainnya yang jauh dari kesan "mendidik".
Guru pandai mengajar tapi tak pandai mendidik, celaka dua belas. Kuasai ilmunya lalu sampaikan, syarat cukup menjadi guru pengajar. Tapi untuk menjadi pendidik, guru harus sadar dirinya adalah suri tauladan. Perbaiki dirinya terlebih dahulu, lalu didik anak-anaknya untuk berperilaku baik. Ingat, guru hebat bukan karena nilai Bahasa Inggris, ilmu Matematika, ilmu Fisika-nya cumlaude, melainkan:
(1) Bisakah ia bakar semangat murid-muridnya untuk lebih giat belajar?
(2) Bisakah ia sadarkan tanggung jawab muridnya akan apa yang harus mereka lakukan?


            Menjadi baik di antara yang bodoh itu mudah. Namun, menjadi baik di antara yang rusak, kisah heroik seorang guru yang setia berperilaku baik memang jadi lakon yang selalu menarik untuk dicermati.
            Gaji guru yang tak memadai, disadari atau tidak, telah memberi andil besar terjadinya kecurangan-kecurangan yang terjadi di sekolah. Mencontek dan memberi bocoran jawaban kepada siswa merupakan hal yang lumrah. Hari gini jadi guru jujur, pikir-pikir dulu. Jika zaman penjajahan dulu kita bisa bilang, "Revolusi Harga Mati". Sekarang, kita tak bisa hindari orang ungkap, "Korupsi Harga Nego". Gambaran sebuah perjuangan yang teramat berat melawan sistemyang korup.
            Lisna mengingatkan kita, berperilaku jujur adalah pilihan. Andai Lisna berani mengingatkan gurunya untuk tak berlaku curang, ini pelajaran teramat berharga bagi dunia pendidikan kita. Jika gurunya membentak dan tidak menerima nasihat Lisna, memang sosok guru  seperti ini layak "ditendang" dan dijauhkan dari lingkungan sekolah. Namun, jika guru Lisna menyadari kekeliruannya, meminta maaf, dan bertobat, siapa yang bisa petik hikmah dari peristiwa ini?
            Banyak orang "merasa pintar", berapa banyak orang yang "pintar memaknai"? Apakah Anda bisa memaknai kisah Lisna, Anak Jujur Sejati? Rasulullah Saw. bersabda, “Sesungguhnya kejujuran membimbing ke arah sesuatu kebaikan, dan kebaikan itu membimbing(nya) ke surga. Seseorang lelaki yang bersikap jujur, sehingga ia berada di sisi Allah sebagai orang yang jujur dan benar. Sedangkan dusta membimbing kepada kejahatan. Lalu kejahatan itu menyeret ke neraka. Seseorang lelaki yang biasa berdusta, maka akan berada di sisi Allah dan kelak sebagai orang pendusta” (HR. Bukhari & Muslim)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar